Membersihkan Gorong-gorong Buntu di Otak Dahlan Iskan
· Seperti
biasa, tulisan Dahlan Iskan di Jawa Pos miliknya, selalu menarik
perhatian. Renyah, segar, enak dicerna, seenak semanggi Surabaya.
Dibawah kolom: “Manufacturing Hope”, pak Dahlan selalu
memaparkan hasil kerjanya, baik ketika menjadi Dirut PLN maupun setelah
menjadi Menteri BUMN. Dengan tulisan-tulisan itu, pak Dahlan dinilai
masyarakat sebagai menteri yang kinerjanya terbaik. Memang benar, opini
yang dibentuk pak Dahlan sulit dibantah, karena yang dikemukakannya
adalah fakta. Fakta yang membentuk persepsi masyarakat, bahwa pak Dahlan
seorang menager piawai.
Tulisan
pak Dahlan di Jawa Pos, Senin (18/02/2013) tak kalah menarik. Dibawah
judul “Membersihkan Gorong-Gorong Buntu di Otak”, pak Dahlan bercerita
secara rinci, bagaimana ketika otaknya dicuci oleh dr Terawan di RSPAD
Gatot Subroto Jakarta.
Seperti yang
diceritakannya sendiri, cuci otak yang dilakukannya sekedar mencoba
ingin mengetahui bagaimana rasanya, walaupun secara medis tidak jelas
indikasinya. Dua minggu sebelumnya, otak isterinya juga dicuci. Kalau
masalah mencoba, pak Dahlan memang biangnya. Jangankan cuma cuci otak,
menabrakan mobil Tucuxi yang mungkin saja merenggut jiwa sudah pernah
dicobanya. Fenomena mencoba pak Dahlan ini nampaknya dimiliki para
petinggi lainnya, bisa dimaklumi. Sebagai orang awam di bidang medis,
nampaknya para petinggi itu kesemsem dengan promosi gencar cuci otak.
Mereka takut kena stroke, jadi perlu di prevensi dgn cuci otak. Siapa
orangnya yang tidak ngeri, kalau ditakuti bakal terkena stroke. Sungguh
suatu promosi intelektual yang jitu dan luar biasa. Prosedur Digital Subtraction Angiography
(DSA) yang dilakukan pada cuci otak, telah dinaikan pangkat dari sarana
diagnosis menjadi sarana terapi, bahkan juga dibengkokan menjadi sarana
prevensi. Sesuatu hal yang salah
kaprah menurut medis. Tentu dr Terawan amat suka cita dengan testimony
pak Dahlan. Mungkin inilah pengakuan terhebat diantara lainnya. Termasuk
testomoni Benny Panjaitan yang hasilnya diragukan. Dengan testimony ini
dia memperoleh legitimasi sahih atas cuci otak yang dilakukannya,
sekalipun belum terbukti sahih secara ilmiah. Dari sudut pandang ilmu
kedokteran, testimony semacam ini, tak ada bedanya dengan testimony
Klinik Tong Fang. Hanya bedanya, kali ini dilakukan oleh seorang
petinggi yang dipercaya masyarakat. Dari sudut etika, seorang dokter
tidak boleh melakukan tindakan tanpa indikasi medis jelas. Dokter yang
satu ini memang unik. Padahal ada ribuan dokter spesialis yang ahli
dibidangnya, tapi mereka tidak pernah berpromosi, karena memang dilarang
oleh etika.
Pada bagian lain pak Dahlan menulis sbb “Saya
tahu, metode cuci otak Dokter Terawan ini masih kontroversial. Pendapat
kalangan dokter masih terbelah. Masih banyak dokter yang belum bisa
menerimanya sebagai bagian dari medical treatment”. Kalau saja ada
1000 dokter, 400 orang setuju metode cuci otak dan 600 lainnya menolak,
itu bisa dikatakan pendapat yang terbelah, karena jumlahnya hampir
seimbang. Namun kalau dari 1000, hanya 20 orang saja yang setuju, itu
bukan terbelah namanya. Kenyataannya, lebih dari 98% masyarakat
kedokteran Indonesia belum menerima cuci otak.
Mengapa
masyarakat kedokteran Indonesia belum menerima cuci otak? Jawabnya
sederhana yaitu, mereka perlu penjelasan secara tuntas prosedur cuci
otak itu. Jangankan pada masyarakat , pada forum ilmiah kedokteranpun dr
Terawan enggan membukanya. Contohnya, tgl 4 Oktober 2011, ketika Tim
Karotis RSCM yang diketuai Prof. Dr. Teguh Ranakusuma, Sp.S(K) minta
keterangan dr Terawan obat apa yang dimasukan, beliau menolak
menjelaskan. Tentu penolakan
ini membuat para ahli RSCM itu kecewa. Sebenarnya kalau cuci otak yang
dilakukan itu sesuai prosedur dan memiliki dasar ilmiah yang benar ,
tentu tidak perlu ada yang disembunyikan. Sikap ini tergolong unik,
sekaligus langka. Dalam forum ilmiah, biasanya seorang dokter bersikap
terbuka atas metode yang dilakukannya. Dari forum itu bisa dinilai dasar
ilmiah dari tindakannya. Bila dinilai benar, maka yang bersangkutan
memiliki legitimasi ilmiah dari koleganya. Bukan legitimasi testimony
masyarakat yang kebenarannya diragukan. Merahasiakan suatu metode
pengobatan, sangat bertentangan dgn etika kedokteran.
Masyarakat kedokteran Indonesia tentu amat bangga bila seorang putra Indonesia menemukan terapi baru untuk stroke yang orisinil. Mungkin saja yang bersangkutan memperoleh hadiah Nobel. Tapi untuk sampai kearah sana sangatlah tidak mudah. Diperlukan integritas ilmiah yang baik, kejujuran ilmiah terpercaya dan memenuhi prosedur ilmiah baku. Kalau semua syarat itu tidak terpenuhi, jangan harap memperoleh hadiah nobel, memperoleh pengakuan ilmiah dari sejawatnya setanah air saja, sepertinya jauh panggang dari api.
· Atas
sikap rahasia dr Terawan tentang obat yang dimasukan, masyarakat
kedokteran Indonesia hanya bisa menerka-nerka. Satu-satunya obat yang
mampu menghancurkan bekuan darah penyumbat aliran otak hanyalah golongan
obat yang disebut thrombolysis. Diantaranya adalah, recombinant tissue
plasminogen activator (rTPA), streptokinase dan urokinase. Obat ini
sangat bahaya bila diberikan lebih dari 8 jam setelah menderita stroke.
Bahaya terbesar adalah perdarahan otak yang bisa merenggut nyawa pasien.
Sementara ini belum ada obat lain yang dapat menghancurkan bekuan
darah. Dan obat ini dilarang diberikan sebagai upaya prevensi model pak
Dahlan yang normal. Untuk lengkapnya silahkan klik http://en.wikipedia.org/wiki/Thrombolytic_drug Dari pola pikir diatas, pastilah cuci otak itu tidak menggunakan obat thrombolysis.
Dr Terawan tentu tidak berani menganggung resiko perdarahan yang
terjadi. Alasan lainnya, cuci otak ini diberikan kapan saja, tidak
mengenal waktu kapan stroke mulai diderita. Lebih-lebih untuk tindakan
prevensi untuk orang normal macam pak Dahlan, bahaya perdarahan semakin
besar, karena obat ini akan merusak proses pembekuan darah normal. Jadi
obat yang diberikan pada pak Dahlan itu, bukan thrombolysis, atau dengan
kata lain pak Dahlan tidak memperoleh obat yang tepat untuk
menghancurkan bekuan darah di otaknya.
Atau mungkinkah pak
Dahlan memperoleh obat baru yang berasa mint? Mungkin saja itu obat baru
thrombolysis. Setiap penemuan baru dibidang kedokteran, pasti akan
segera diketahui oleh masyarakat ilmiah kedokteran sedunia. Itu akan
dimuat secara besar-besaran dalam journal ilmiah kedokteran yang
jumlahnya ribuan. Sayangnya hingga kini obat thrombolysis masih seperti
yang disebut diatas. Belum ada tambahan. Dari pengalaman beberapa
neuro-interventionist, tidak ada satupun obat thrombolysis yang berasa
mint.
Seorang dokter yang melakukan tindakan medis harus mampu menciptakan suasana psikologis yang bisa menaikan kepercayaan pasien kepadanya. Sekali kepercayaan ini diraih, selanjutnya si
dokter akan menguasai psikologis pasien. Adanya harapan bahwa otaknya
akan dibersihkan oleh dokter yang sangat terkenal dan berpengalaman, itu
saja sudah menyita 60% kepercayaan psikologis terhadap dokter. Tak beda
ketika melihat performance pilot yang akan menerbangkan pesawat yang
kita tumpangi. Rasa aman langsung terasa, ketika melihat pilot yang
cocok dihati. Sisa psikologis yang 40% dituntaskan ketika proses cuci
otak berlangsung. Itu antara lain tempat yang nyaman, sikap dokter dan
perawat yang ramah penuh perhatian, dokter yang tak henti-hentinya
menyanyikan lagu Di Doa Ibuku, mulut terasa
pyar yang lembut disertai rasa mentos yang ringan ketika disuntik obat,
termasuk memperlihatkan bentuk saluran darah yang seperti lambang Lexus
sebelum dicuci menjadi lambang Mercy setelah dicuci. Itulah semua yang
diceritakan pak Dahlan. Pada tahap kepercayaan psikologis yang mencapai
90% ini, apapun yang dikatakan dokter pasti diamini pasien.
Ketika pasien diberi
keterangan tentang beda antara gambar Lexus and gambar Mercy, pasien
akan percaya. Pada tahap ini dokter telah meraih 100% kepercayaan
psikologis pasien. Gambar diatas adalah beda lambang Lexus dan Mercy.
Gambar Lexus yang memiliki 2 kaki (gambar kiri), dianggap sebagai ada
pembuluh darah yang terbuntu. Setelah dicuci gumpalan darahnya, maka
bentuknya menjadi lambang Mercy dgn 3 kaki (gambar kanan). Benarkah
demikian? Gambar diatas itu adalah gambar angiografi otak normal. Tidak
ada pembuluh darah yang buntu. Adanya perbedaan lambang Lexus dan Mercy
hanyalah beda fase pengisian kontras. Apabila kontras belum terisi
sepenuhnya, maka bentuknya spt Lexus, namun bila sudah terisi sempurna
maka berubah menjadi bentuk Mercy. Jadi ada jeda waktu antara bentuk
Lexus dan Mercy. Lexus lebih dahulu, baru kemudian Mercy. Dan ini yang
paling sulit diterangkan pada cuci otak. Kalau saja ada pembuluh darah
buntu sebesar itu pada otak pak Dahlan, pasti sebelum cuci otak, pak
Dahlan mengalami kelumpuhan separuh badan. Faktanya, pak Dahlan tidak
sakit apa-apa. Dan yang paling tak masuk akal, obat thrombolysis apa
yang begitu fantastic yang dalam hitungan menit bisa menghancurkan
bekuan yang begitu besar. Sebenarnya kalau mau, bisa saja pak Dahlan minta second opinion gambar angiografi itu pada ahlinya.
Dari
sudut neurology, tidak ada tindakan intervensi untuk mencegah stroke
pada orang normal. Tindakan yang paling baik untuk mencegah stroke
adalah menghindari factor resiko stroke. Itu, antara lain, hidup teratur
penuh keseimbangan, olah raga, tidak merokok, tidak minum alcohol,
mencegah kegemukan, menghindari stress, mengobati hipertensi, kencing
manis, lemak tinggi dan lain-lain. Jadi tindakan intervensi pada orang
normal untuk mencegah stroke, hanyalah omong kosong belaka.
· Pada bagian akhir, pak Dahlan menulis begini “Tapi,
bagi yang sehat, antrenya sudah mencapai tiga bulan. Sebab, hanya
sekitar 15 orang yang bisa ditangani setiap hari. Lebih dari itu,
bisa-bisa Terawan sendiri yang akan mengalami perdarahan di otaknya”.
Benar sekali pak, mestinya dr Terawan bisa mengajari banyak dokter agar
antrenya tidak begitu panjang. Cuma saja mungkin beliaunya takut
rejekinya menyusut, hick, hick, hick.
2 komentar:
Nah ini baru berita, ternyata memang ada cuci otak... sangat prospek di jadikan waralaba.. just kidding...
Terapi Bekam
Brainwawsh/brainspa/braincure/brainpret itu ngga ada di dalam seluruh SOP stroke diseluruh dunia termasuk Indonesia , yang artinya terapi itu tidak dijamin efektifitas apa;agi keamanannya. Kalau tidak ada berarti masih eksperimen, kalau memang mau eksperimenharus ada fase fase keamanannya, yang berarti harus dimulai dari binatang dulu , bukan langsung ke MANUSIA. INi kan langsung ke manusia , abis itu yang lebih ngaco nya lagi , udahlah terapi eksperimen, tapi pasien ditarik duit… kacau balau terbalik balik tingkat pemahaman penelitiannya. Jangan berkedok pada menolong sesame , tapi terapi yang masih eksperimental langsung di ujikan ke manusia, jangankan ke monyet, ke tikus aja belum , apalagi pasien di suruh bayar, mestinya di bayarin , karena takut ada apa apa. Di Beberapa kota spt SBY dan JKT sudah ada pasien BW yang meninggal, belum terhitung yang jadi cacat…., mana pertanggung jawabannya ???
Posting Komentar